Ketika Bani Belajar Cinta

Aku tak pernah mengira ada lelaki zaman sekarang yang begitu pemalu mengungkapkan perasaannya pada wanita. Tapi, begitulah Bani. Sedari SMP, ia selalu memendam perasaan cintanya pada seorang gadis pujaan hatinya. Hingga masa kuliah pun, tak kunjung dari mulutnya membuncah ungkapan cinta. Sekali tiba keberaniannya, nahas pun ia terima. Wanita pujaan menolak cinta yang telah ia pendam belasan tahun.

Bani tak pernah menyerah. Walau sulit dan terasa amat sakit, ia coba untuk bangkit. Sedikit demi sedikit ia kubur dan balut luka hatinya untuk mulai mencinta lagi. Usahanya berbuah hasil. Hatinya yang sakit mekar kembali saat jatuh cinta. Seorang gadis rupawan membius tubuhnya. Tak ingin terulang lagi kegagalan yang dulu, ia nyatakanlah cintanya. Sekali tiba keberaniannya, mujur pun ia terima. Wanita pujaan menerima cinta yang setengah mati pelihara.

Waktu demi waktu berlalu membawa Bani dan wanita pujaannya berputar mengelilingi roda kehidupan. Susah senang duka bahagia mereka jalani bersama. Orang banyak melihat,”dimana ada Bani, di sana pula sang wanita”. Mereka layaknya dua insan bermadu kasih, serasa bumi milik berdua.

Bani belajar cinta. Hidupnya berbunga-bunga. Kesenangan dan kebahagiaan yang direguknya bagai telah membawanya jadi penghuni surga. Manatah ada manusia yang menolak cinta dan dicintai? Begitu pun Bani. Ia belajar memiliki emosi cinta dan perasaan cinta. Cinta tumbuh, rencananya pun dibangun. Tak ingin berpisah, keduanya berikrar janji sehidup semati ingin mengikat tali pernikahan.

Gayung bersambut. Bani memang trauma kehilangan wanita pujaan. Sekian lama ia pelihara, akhirnya hilang juga. Tapi tidak untuk wanita yang ini, katanya. Sebelum pergi ia, kan segera kulamar, pikir si Bani.

Bani juga euforia. Cintanya yang dulu ditolak dan kini diterima membuatnya tergila-gila pada asmara. Tak ingin rasanya berpisah dengan sang wanita walau sekejap jua. Ia benar-benar mabuk cinta layaknya Romeo terpikat Juliet. Seluruh hidupnya ia korban dan serahkan untuk wanita sang pujaan.

Bani bersemangat. Ia siapkan segala demi mengambil sang gadis dari tangan orangtuanya. Sayang seribu sayang. Rencana tinggal rencana. Orangtua Bani kini tak setuju. Alasannya cukup sederhana karena sang orangtua masih merasa Bani belum sanggup untuk menjadi seorang suami. Di lain sisi, sang wanita beserta orangtuanya mendesak agar hari berbahagia segera terlaksana.

Alamak, oh alamak. Bani pusing tujuh-delapan-sembilan keliling dibuatnya. Bagaimana pula urusannya kini. Bagai buah simalakama, pilih wanita atau orangtua. Mematuhi orangtua sendiri berarti harus menunda hari berbahagia, pun kehilangan sang wanita. Karena bagi sang wanita dan orangtua wanita tak ada kata menunda. Sementara menuruti pujaan hatinya berarti menyakiti hati orangtuanya dan dicap tak berbakti pada orangtua, pun tak mendapat ridho.

Tuhan, oh Tuhan. Otak Bani mau meledak rasanya. Hatinya remuk redam terasa. Lemah lunglai tubuhnya. Tak tahu harus bagaimana. Tapi yang jelas ia takkan lagi melewatkan kesempatan memiliki cinta sejati seumur hidupnya. Maka, ia reguklah buah simalakama gerangan. Daripada kehilangan masa depannya, cintanya, wanita pujaannya, berkonfrontasilah ia dengan sang bunda pun ayahanda. Ia kabur dari rumah untuk menegaskan sikapnya. Beri restu, atau pisah rumah!!

Oladalah. Seisi bumi kepayang dibuatnya. Bunda tercinta sakit-sakitan, wanita dipuja tangis-tangisan. Wanita memang merepotkan, satu minta nikah - satu lagi minta mundur nikah. Seluruh raga, jiwa, tenaga, yang telah tercurah rasanya jadi sia-sia. Bani mulai lelah. Ia tak lagi berselera menikah. Pundi harta yang ia kumpulkan, sekejap ia hamburkan untuk melepas penat dan derita di batinnya.

Bani… lupakah kau ini ujian? Hakikatnya ujian diberikan pada orang-orang yang Tuhan pikir sudah cocok untuk naik kelas. Sebab ujar-Nya, setiap kelulusan ujian, seorang hamba akan naik kelas ke jenjang lebih tinggi. Lagipula, Tuhan takkan pernah memberi ujian yang tak mampu sang hamba hadapi.

Lupakah kau ini ujian? Jika ini yang Tuhan berikan, pastilah Ia mengharap agar kau lebih baik. Pastilah pula ujian ini sudah disesuaikan dengan tingkatanmu. Jadi, janganlah kau berlari dari kenyataan, menutup diri dari dunia, menengok ke belakang menuju sisi gelapmu.

Bani hanyalah jejaka yang belajar cinta. Mabuk kepayangnya membuatnya lupa dimana daratan. Cintalah yang menguasai otak, membenamkan akal sehat, membangunkan sentimentilnya. Aku hanya serta merta berdoa dan menyanggamu selalu di belakang.