Perubahan dimulai dari diri sendiri

Filed under: Education, Macroeconomics — itpin @ 8:16 am

Tulisan berikut saya dapatkan dari kiriman Sdr. Carlos Patriawan. Karena tersentuh oleh tulisan tersebut dan melihat relevansinya dengan beberapa artikel saya sebelumnya, saya memutuskan memasukkannya di blog ini. Saya tidak tahu sumber asli tulisan ini (kalau ada yang tahu, tolong beritahukan). Hasil terjemahan di bawah adalah berkat jasa Boedi Dayono (Januari 2004).

Selamat membaca…

Perbedaan antara negara berkembang (miskin) dan negara maju (kaya) tidak tergantung pada umur negara itu. Contohnya negara India dan Mesir, yang umurnya lebih dari 2000 tahun, tetapi mereka tetap terbelakang (miskin). Di sisi lain, Singapura, Kanada, Australia, dan New Zealand –- negara-negara yang umurnya kurang dari 150 tahun dalam membangun — saat ini merupakan bagian dari negara maju di dunia. Mayoritas penduduknya tidak lagi miskin.

Ketersediaan sumber daya alam dari suatu negara juga tidak menjamin negara itu menjadi kaya atau miskin. Jepang mempunyai area yang sangat terbatas. Daratannya 80% berupa pegunungan dan tidak cukup untuk pertanian dan peternakan. Tetapi, saat ini Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia. Jepang laksana suatu negara “industri terapung” yang besar sekali, mengimpor bahan baku dari semua negara di dunia dan mengekspor barang jadinya.

Swiss tidak mempunyai perkebunan coklat tetapi sebagai negara pembuat coklat terbaik di dunia. Negara Swiss sangat kecil, hanya 11% daratannya yang bisa ditanami. Swiss juga mengolah susu dengan kualitas terbaik. (Nestle adalah salah satu perusahaan makanan terbesar di dunia). Swiss juga tidak mempunyai cukup reputasi dalam keamanan, integritas, dan ketertiban –- tetapi saat ini bank-bank di Swiss menjadi bank yang sangat disukai di dunia.

Para eksekutif dari negara maju yang berkomunikasi dengan temannya dari negara terbelakang akan sependapat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kecerdasan. Ras atau warna kulit juga bukan faktor penting. Para imigran yang dinyatakan pemalas di negara asalnya ternyata menjadi sumber daya yang sangat produktif di negara-negara maju/kaya di Eropa.

Lalu, apa perbedaannya?

Perbedaannya adalah pada sikap/perilaku masyarakatnya, yang telah dibentuk bertahun-tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat di negara maju, ternyata bahwa mayoritas penduduknya sehari-harinya mengikuti/mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan sebagai berikut:

  1. Etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari
  2. Kejujuran dan integritas
  3. Bertanggung jawab
  4. Hormat pada aturan dan hukum masyarakat
  5. Hormat pada hak orang/warga lain
  6. Cinta pada pekerjaan
  7. Berusaha keras untuk menabung dan berinvestasi
  8. Mau bekerja keras
  9. Tepat waktu

Di negara terbelakang/miskin/berkembang, hanya sebagian kecil masyarakatnya mematuhi prinsip dasar kehidupan tersebut.

Kita bukan miskin (terbelakang) karena kurang sumber daya alam, atau karena alam yang kejam kepada kita. Kita terbelakang/lemah/miskin karena perilaku kita yang kurang/tidak baik. Kita kekurangan kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan prinsip dasar kehidupan yang akan memungkinkan kita mampu membangun masyarakat, ekonomi, dan negara.

Jika Anda tidak meneruskan pesan ini, tidak akan terjadi apa-apa pada diri Anda! Hewan peliharaan Anda tidak akan mati. Anda tidak akan kehilangan pekerjaan. Anda tidak akan mendapat kesialan dalam 7 tahun. Anda juga tidak akan sakit.

Tetapi jika Anda mencintai negara kita, teruskan pesan ini kepada teman-teman Anda. Biarlah mereka merefleksikan hal ini. Kita harus mulai dari mana saja. Kita ingin BERUBAH dan BERTINDAK!

Dan… PERUBAHAN DIMULAI DARI DIRI KITA SENDIRI!

• • •


Dewi Fortuna dan Hitler

Filed under: Learning, Cognitive Biases — itpin @ 8:26 am

Pada musim panas tahun 1930 di sebuah daerah di Jerman, sebuah kecelakaan hampir terjadi antara sebuah mobil penumpang dan sebuah truk trailer besar. Untung saja (atau sialnya?) pengemudi truk tersebut bereaksi cukup cepat untuk menginjak pedal rem. Bila dia terlambat setengah detik saja, mobil penumpang tersebut pasti akan tergilas dan kemungkinan besar para penumpang di dalam mobil tersebut akan tewas.

Apa yang membuat insiden tersebut istimewa adalah fakta bahwa penumpang yang duduk di baris depan (bagian kanan) adalah Adolf Hitler, yang dua tahun kemudian naik di tampuk kekuasaan Jerman. Tanpa disadari supir truk tersebut, responnya yang cepat kemungkinan besar telah ikut mempengaruhi sejarah dan wajah peradaban dunia.

Cerita di atas adalah salah satu contoh bagaimana ‘keberuntungan’ (atau tiadanya keberuntungan) mempengaruhi hidup kita. Harus diakui, sebaik apa pun rencana yang kita susun, faktor keberuntungan memegang peranan yang sangat penting. Dalam bisnis sekalipun, berada di tempat yang benar pada waktu yang benar sering menjadi faktor penentu keberhasilan; sementara mereka yang telah melakukan perhitungan yang njelimet sering gagal karena Dewi Fortuna kebetulan berada di tempat lain. Beberapa riset yang ditujukan untuk mempelajari faktor-faktor keberhasilan sebuah bisnis sering menemukan banyak perusahaan yang ‘kesuksesannya yang tidak bisa dijelaskan’, sebuah kata lain untuk kata ‘luck‘.

Fakta ini seharusnya membuat kita rendah hati dalam menghadapi hidup, karena kita menyadari adanya kekuatan yang jauh lebih besar di luar diri kita yang ikut mempengaruhi jalan hidup kita. Namun pada kenyataannya, manusia sering disesatkan oleh bias yang disebut sebagai fundamental attribution error. Bias ini membuat kita menganggap kesuksesan kita berasal dari kemampuan, ketrampilan, atau keputusan yang kita buat; sementara kegagalan disebabkan karena nasib buruk belaka. Padahal kenyataannya, (hampir) semua kesuksesan dan kegagalan bisa jadi disebabkan oleh pertautan yang sulit diurai antara tindakan kita dan keputusan nasib.

Anda lalu akan bertanya, “Bila nasib ikut menentukan kesuksesan/kegagalan kita, mengapa kita perlu belajar?” Jawaban sederhananya, karena semua kejadian di dunia ini tidak diatur dalam logika biner hitam dan putih, ya dan tidak. Semua kejadian di dunia ini beroperasi secara probabilistik. Fungsi belajar adalah meningkatkan probabilitas kita untuk meraih apa yang kita inginkan dan mengurangi dampak negatif bila nasib memutuskan lain. Dengan kata lain, belajar tidak memastikan Anda akan sukses, tetapi akan meningkatkan probabilitas kesuksesan Anda dibanding mereka yang tidak belajar. Seberapa banyak probabilitas tersebut, tidak ada yang tahu kecuali Yang Maha Kuasa.

Keunggulan probabilitas tersebut juga tidak berarti Anda akan selalu menang melawan mereka yang probabilitasnya lebih kecil. Bila Anda memiliki probabilitas 60-40 dan teman Anda 40-60, dan tangan nasib kebetulan memilih 40% yang dimiliki teman Anda dibanding 60% milik Anda, Anda tetap kalah pada kesempatan tersebut. Probabilitas tersebut hanya akan berpihak pada Anda, bila kejadian yang sama bisa diulang beberapa kali. Semakin sering kejadian yang sama berulang, semakin besar probabilitas tersebut akan membantu Anda. Contoh terjelas bisa dilihat di bursa saham. Para pemain yang memiliki pengetahuan yang lebih baik tidak selalu menang pada setiap transaksi, tetapi dalam jangka panjang, pengetahuan mereka akan membuat mereka menang lebih sering. Anda bisa saja memprotes bahwa tidak semua dari kita diberi peluang sebanyak itu. Tetapi dengan pengetahuan dan sikap yang benar, Anda seharusnya bisa menciptakan peluang-peluang yang lebih banyak. Bukankah Seneca pernah berkata, “Luck is what happens when preparation meets opportunity“?

Walau demikian, ada baiknya untuk selalu diingat: tidak perduli sebanyak apa pun yang telah Anda pelajari, always be humble… Kita hidup di dunia yang tidak pasti dan random.